MENDAKI BUKAN REKREASI
Mendaki gunung seperti kegiatan petualangan lainnya merupakan sebuah aktivitas olahraga berat. Kegiatan itu memerlukan kondisi kebugaran pendaki yang prima. Bedanya dengan olahraga yang lain, mendaki gunung dilakukan di tengah alam terbuka yang liar, sebuah lingkungan yang sesungguhnya bukan habitat manusia, apalagi anak kota.
Pendaki yang baik sadar adanya bahaya yang bakal menghadang dalam aktivitasnya yang diistilahkan dengan bahaya obyektif dan bahaya subyektif. Bahaya obyektif adalah bahaya yang datang dari sifat - sifat alam itu sendiri.
Misalnya saja gunung memiliki suhu udara yang lebih dingin ditambah angin yang membekukan, adanya hujan tanpa tempat berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan orang tergelincir sekaligus beresiko jatuhnya batu - batuan, dan malam yang gelap pekat. Sifat bahaya tersebut tidak dapat diubah manusia.
Hanya saja, sering kali pendaki pemula menganggap mendaki gunung sebagai rekreasi biasa. Akibatnya, mereka lalai dengan persiapan fisik maupun perlengkapan pendakian. Tidak jarang diantara tubuh mereka hanya berlapiskan kaos oblong dengan bekal biskuit atau air ala kadarnya.
Meski tidak dapat diubah, sebenarnya pendaki dapat mengurangi dampak negatifnya. Misalnya dengan membawa baju hangat dan baju tebal untuk melindungi diri dari dinginnya udara. Membawa tenda untuk melindungi diri dari hujan bila berkemah, membawa lampu senter, dan sebagainya.
Sementara bahaya subyektif datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu seberapa siap dia dapat mendaki gunung. Apakah dia cukup sehat, cukup kuat, pengetahuannya tentang kompas memadai (karena tidak ada rambu - rambu lalu lintas di gunung), dan sebagainya. Sering terjadi pendaki gunung yang tersesat, mereka tersesat karena tidak melakukan persiapan mendaki gunung.
Memang, mendaki gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu bentuk pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut.
Perasaan yang muncul dalam bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan karena tidak ada pula tantangan.
Resiko mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap melanjutkan pendakian, karena pendaki memiliki kecenderungan sensation seekinh (pemburuan sensai) tinggi. Para sensation seeker menganggap dan menerima resiko sebagai harga atau nilai dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri. Dari pengalaman - pengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk Self-esteem (kebanggaan / kepercayaan diri).
Pengalaman - pengalaman ini selanjutnya menimbulkan perasaan individu tentang dirinya, baik perasaan positif maupun perasaan negatif. Perjalanan pendakian yang dilakukan oleh para pendaki menghasilkan pengalaman, yaitu pengalaman keberhasilan dan sukses mendaki gunung, atau gagal mendaki gunung. Kesuksesan yang merupakan faktor penunjang tinggi rendahnya Self-esteem, merupakan bagian dari pengalaman para pendaki dalam mendaki gunung.
Fenomena yang terjadi adalah apakah mebdaki gunung bagi para pendaki merupakan sensation seeking untuk meningkatkan self-esteem mereka? Selanjutnya, sensation seeking bagi para pendaki gunung kemungkinan memiliki hubungan hubungan dengan self-esteem pendaki tersebut. Karena pengalaman yang dialami para pendaki dalam pendakian dapat berupa keberhasilan maupun kegagalan dalam menggapai puncak gunung......
 
  
 